Home BERITA Transmigran

Transmigran

0
Ilustrasi: Bertani mengolah sawah by Romo Suhud SX

Renungan Harian
18 Februari 2021
Bacaan I: Ul. 30: 15-20
Injil: Luk. 9: 22-25
 
BEBERAPA tahun yang lalu, saya berkunjung ke salah satu keluarga transmigran dari Jawa yang menurut saya berhasil.

Saya sebut berhasil, karena keluarga itu sekarang memiliki tanah pertanian yang luas, dua kali dari yang dulu diterimanya hasil membeli tanah di tempat trans.

Juga, tanah pertanian dikelola dengan baik; bahkan waktu itu sudah menggunakan traktor milik sendiri.

Keluarga itu juga telah memiliki peternakan sapi dan kambing.Bahkan, sekarang menempati rumah permanen yang bagus. Untuk di wilayah itu membangun rumah seperti itu bisa menghabiskan dana lebih Rp 1 milyar.

Juga sudah bisa menyekolahkan putera-puterinya hingga lulus sarjana di perguruan tinggi negeri maupun swasta di Jawa.
 
Dalam perjumpaan itu, ia bercerita awal mula ikut program transmigrasi.

“Romo, saya lahir dari keluarga petani, dan kemudian saya menjadi petani, tetapi lebih tepatnya menjadi buruh tani. Waktu itu, saya hanya punya sawah warisan orangtua yang tidak seberapa; untuk menghidupi keluarga sudah pasti tidak akan cukup, maka saya menjadi buruh tani untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
 
Waktu itu ada tawaran ikut transmigrasi ke tempat ini, tawaran yang menarik karena akan mendapatkan rumah dan tanah garapan. Satu sisi saya tertarik untuk memiliki tanah yang cukup untuk menghidupi keluarga; tetapi di sisi lain saya juga takut harus pergi amat jauh ke tempat yang tidak pernah saya bayangkan.

Orangtua melarang saya pergi, karena menurut mereka untuk apa pergi jauh, di sini walau serba kekurangan; tetapi bisa kumpul dengan sanak saudara, lebih hangat.
 
Dalam kebimbangan itu saya “sowan” ke romo paroki mohon saran dan terang untuk mengambil keputusan.

Romo paroki saya, waktu itu romo Belanda “ngendiko”:

“Semua tergantung dengan kamu sendiri. Ini ada tawaran yang bagus untuk meningkatkan kesejahteraan hidupmu dan keluargamu. Semua belum jelas, maka satu hal yang penting adalah kesanggupanmu untuk hidup prihatin (berani menderita) dan bekerja keras.

Menurut saya, itu tanah terjanji bagimu, kalau kamu yakin dan sanggup berangkatlah Tuhan pasti memberikan berkat-Nya dengan melimpah.
 
Takut dan khawatir itu pasti ada dan bahwa rasa itu ada penting, agar kita tidak menjadi “sembrono dan grusa-grusu” (terlalu yakin).

Kalau kamu meminta pendapat saya, saya menyarankan pergilah. Tetapi syaratnya berani menderita dan mau kerja keras, hasilnya akan dinikmati anak-anak dan cucu-cucumu nanti.
 
Jadi kalau kamu yakin, sanggup dan berani, kamu menyongsong masa depanmu yang lebih baik.

Tetapi kalau kamu tidak yakin, tidak sanggup dan tidak berani berarti kamu akan seperti ini terus dan semakin sulit nantinya.”
 
Berbekal nasehat romo itu, saya mantap untuk mendaftar dan berangkat.
 
Pertama datang ke tempat ini, kami menangis dan rasanya pengin pulang saja.

Tetapi ingat pesan romo paroki, untuk mengubah hidup, mengubah masa depan, saya harus mau menderita dan kerja keras.

Maka saya dan isteri segera memantapkan hati untuk kerja keras.

Ini saatnya saya mengubah nasib. Saya siap menderita dengan kerja keras demi masa depan yang lebih baik, masa depan yang lebih sejahtera.

Saya tidak boleh menunda untuk kerja keras meski menderita, kalau tidak sekarang, saya tidak akan berhasil, saya yakin rahmat Tuhan cukup untuk kami.
 
Itu romo, tahun- tahun pertama yang penuh  derita kami alami, dan syukur pada Allah, Tuhan sungguh-sungguh melimpahkan berkat-Nya sehingga kami bisa seperti ini.

Benar kata romo paroki, ini tanah terjanji bagi saya.

Saya bisa mengubah nasib hidup kami.”
 
Perubahan hidup ditempuh dengan kerja keras, kesediaan dan kesanggupan untuk menderita.

Perubahan hidup tidak begitu saja jatuh dari langit dan tidak hanya menunggu.

Setiap usaha perubahan hidup selalu dihadapkan pada pilihan mau atau tidak mau, sanggup atau tidak sanggup, berani atau tidak berani untuk berjuang dan menderita.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Ulangan, Allah menawarkan berkat atau kutuk, hidup atau mati.

Kalau mau memilih Allah dengan konsekuensi berjuang penuh penderitaan yang menghantar kepada hidup atau memilih yang lain yang mungkin lebih nyaman tetapi menghantar pada kematian.

“Kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau tidak mati, baik engkau maupun keturunanmu, yaitu dengan mengasihi Tuhan, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya.”
 
Bagaimana dengan aku? Apa yang kupilih?
 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version