Puncta 03.09.21
PW. St. Gregorius Agung, Paus dan Pujangga Gereja
Lukas 5: 33-39
DI Kalimantan, setiap gawai pasti ada minum tuak. Ada bermacam-macam jenis tuak. Ada yang warnanya putih susu, tetapi juga ada yang berwarna coklat.
Tuak dibuat dari fermentasi nira atau beras ketan yang dicampur dengan ragi.
Tradisi minum tuak melambangkan kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan. Kadang minum tuak dilakukan sambil begendang (menari).
Kadang tuak disimpan dalam tajau (sejenis gentong) dan diminum bersama dengan cara dihisap pakai ranting bambu kecil.
Tuak yang disimpan lama rasanya sungguh nikmat. Ada keluarga yang membuat tuak untuk disimpan sebagai kenangan suatu peristiwa, misalnya kelahiran anak.
Tuak itu akan ditanam di tanah dan pada saat tertentu akan diambil. Misalnya, saat khitanan anaknya atau saat tunangan si anak itu.
Seperti anggur, semakin disimpan lama semakin enaklah rasanya. Anggur baru disimpan pada kantong yang baru.
Anggur baru tidak disimpan pada kantong kulit yang lama, karena akan sobek dan tumpahlah anggurnya.
Tidak ada orang yang sudah minum anggur tua akan meminum anggur yang baru, karena rasanya pasti lebih enak yang tua.
Yesus memberi perumpamaan tentang anggur baru dan kain baju yang baru.
Kehadiran Yesus membawa kebaruan hidup. Hal ini dikaitkan dengan adat kebiasaan berpuasa yang ditanyakan orang-orang Farisi.
“Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi. Tetapi murid-murid-Mu makan dan minum.”
Puasa dan sembahyang adalah tindakan keutamaan. Tetapi hal itu tidak boleh dilakukan hanya karena kewajiban atau menjalankan aturan saja.
Apalagi hanya untuk dilihat orang agar nampak saleh. Menjalankan doa dan puasa bukan karena ritual rutin tetapi tulus ikhlas dari dalam hati.
Apa artinya melakukan doa dan puasa kalau hanya terpaksa karena aturan, kewajiban, dan hanya memenuhi ritual belaka?
Doa dan puasa tidak cukup hanya berhenti pada ritus kosong, tetapi harus sampai pada perubahan hati.
Tidak ada gunanya doa yang panjang-panjang, jika kita juga berpanjang-panjang “ngrasani” atau “ngegosipin” kejelekan orang.
Tidak ada gunanya berpuasa kalau setelah puasa kita makin dasyat korupsi.
Cara pandang baru itulah yang dimaksud dengan anggur baru dan kain dari baju baru. Yesus membawa nilai baru dalam melakukan aturan doa dan puasa.
Jangan terjebak pada ritus hampa dan kebiasaan yang mengikat, namun tidak mau bertobat.
Doa dan puasa semestinya makin menyucikan hati dan memperbaiki diri kita.
Bahasa kita sekarang mungkin disebut revolusi mental. Mari kita berubah dan memperbaharui diri.
Langit di atas kota nampak hitam berkabut.
Tidak ada sinar matahari yang berseri-seri.
Jangan berdoa dan berpuasa hanya karena takut.
Tetapi karena ingin bertobat dan memperbaiki diri.
Cawas, revolusi diri.