DALAM sebuah pernyataan yang dimuat di koran terkemuka The New York Times edisi Kamis, 30 November 2017, Sanofi mengatakan telah memeriksa data pasien Dengue global selama enam tahun terakhir. Ada risiko infeksi Dengue justru menjadi lebih berat, sehingga pemberian vaksin Dengue perlu ditinjau ulang.
Apa yang sebaiknya kita sadari?
Demam Berdarah Dengue (Dengue) adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue, sebuah flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk, yang telah menyebar ke sebagian besar wilayah subtropis tropis dan tropis. Tidak ada terapi pada Dengue yang spesifik dan tindakan pencegahan saat ini masih terbatas pada pengendalian vektor nyamuk.
Vaksin Dengue diharapkan berperan besar dalam pengendalian penyakit ini, karena epidemi global Dengue meningkatkan kekhawatiran semua pihak. WHO menargetkan vaksin menjadi bagian yang terintegrasi pada strategi pencegahan dan kontrol Dengue (2012-2020).
WHO Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) tentang Imunisasi telah memberikan ulasan tentang vaksin Dengue pada bulan April 2016 dan banyak negara dianjurkan mempertimbangkan penggunaan vaksin Dengue di areal geografis (nasional atau regional), dengan endemisitas tinggi.
Vaksin dengue pertama, Dengvaxia® (CYD-TDV) yang diproduksi oleh industri farmasi Sanofi, pertama kali terdaftar di Meksiko pada bulan Desember 2015. CYD-TDV adalah vaksin rekombinan tetravalen dari virus dengue hidup, yang telah diteliti dengan pemberian 3 dosis pada jadwal 0, 6, dan 12 bulan, dalam uji klinis Tahap III. CYD-TDV ini telah terdaftar untuk digunakan pada kelompok usia 9-45 tahun yang tinggal di daerah endemik Dengue.
CYD-TDV telah diteliti dalam dua penelitian uji klinis Tahap 3, yaitu CYD14 di 5 negara Asia dan CYD15 di 5 negara Amerika Latin. Data penelitian diambil pada fase aktif termasuk tindak lanjut selama satu tahun setelah pemberian vaksin dosis terakhir atau 25 bulan dari dosis pertama, juga tindak lanjut di rumah sakit dalam tambahan waktu 4 tahun. Penelitian uji klinis ini juga melibatkan anak berusia < 9 tahun, yang sebenarnya merupakan kelompok umur yang tidak termasuk dalam indikasi vaksinasi.
Khasiat vaksin
Efikasi atau keampuhan vaksin CYD-TDV terhadap infeksi dengue adalah 59,2% pada tahun pertama dan terhadap dengue berat adalah 79,1%. Efikasi atau khasiat vaksin bervariasi tergantung serotipe virus, dimana keampuhan vaksin lebih tinggi terhadap serotipe DEN 3 dan 4 (masing-masing 71,6% dan 76,9%,) daripada untuk serotipe DEN 1 dan 2 (54,7% dan 43,0%).
Ternyata khasiat Vaksin juga bervariasi berdasarkan usia saat dilakukan vaksinasi dan paparan Dengue sebelum vaksinasi. Efikasi vaksin stabil pada semua subyek yang berusia 9 tahun atau lebih, yaitu 65,6%, sedangkan pada subyek yang berusia <9 tahun hanya 44%. Dalam analisis post-hoc pada subyek yang berusia ≥9 tahun, efikasi vaksin pada kelompok seronegatif sebelum vaksinasi adalah 52,5% (95% CI 5,9%-76,1%).
Sementara efikasi vaksin terhadap kejadian dirawat inap di rumah sakit karena dengue berat, pada Tahun 1 dan 2 pasca-dosis 1, lebih tinggi pada mereka yang menerima CYD-TDV. Peningkatan itu sebagian besar terjadi pada mereka yang divaksinasi CYD14 pada usia 2-5 tahun di Asia, dimana risiko relatif dirawat di RS karena dengue berat adalah 7.45 (95% CI 1,15-313,80) pada Tahun 3.
Dengan demikian, kelompok usia muda ini belum termasuk dalam indikasi vaksinasi dan vaksin Dengue di Indonesia hanya disarankan untuk diberikan pada anak usia 9-16 tahun, sejak awal 2017 lalu.
Ikatan Dokter Anak Indonesia
Pada Kamis, 7 Desember 2017, Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) juga mengeluarkan pernyataan terkait efek samping vaksin Dengue, sebagaimana disampaikan oleh Sanofi. Pada anak yang sebelumnya tidak terinfeksi virus dengue, terbukti bahwa dalam jangka panjang, justru lebih banyak kasus Dengue berat yang mungkin terjadi setelah vaksinasi.
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2017/12/dengue-vaccine-300x169.jpg)
Temuan ini menyoroti sifat kompleks infeksi virus Dengue sesuai hipotesis infeksi sekunder.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis ‘secondary heterologous infection’ yang menyatakan bahwa Dengue berat terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi, sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi, sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit, sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL- 6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan menyebabkan kebocoran plasma darah.
Selain itu, peningkatan C3a dan C5a juga terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi, yang akan memperberat kebocoran plasma, sehingga justru menjadi Dengue berat.
Dengan demikian, segenap dokter spesialis anak di Indonesia disarankan agar menunda dan menangguhkan pemberian vaksin Dengue terlebih dahulu, sampai terbit arahan selanjutnya. Dokter harus menilai kemungkinan infeksi dengue sebelumnya pada seorang anak, untuk menentukan apakah mereka harus mendapatkan vaksin tersebut.
Bagi anak yang belum pernah terinfeksi virus dengue, vaksinasi sebaiknya tidak dianjurkan.
Sanofi akan menanggung kerugian sebesar 100 juta euro ($ 118 juta) secara global. Untuk itu, bagi anak yang telah menerima vaksin Dengue dianjurkan agar segera kembali menghubungi dokter spesialis anak yang memberikan vaksin tersebut, untuk dipantau keadannya lebih lanjut.
Sekian
Yogyakarta, 7 Desember 2017