PERTAMA kali mendengar kata “Air Upas” terjadi di akhir Desember 2016, ketika Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi mengajak kami melihat peta wilayah pastoral Keuskupan Ketapang di Wisma Keuskupan di lantai 2.
Berdasarkan peta wilayah yang tampilannya sudah lusuh itu, Mgr. Pius menerangkan kondisi geografis wilayah keuskupannya yang membentang dari ujung selatan ke utara, dari ujung timur menuju barat.
Ada beberapa lokasi paroki yang hanya bisa dicapai dengan moda transportasi darat dengan motor dan kemudian menyusuri aliran-aliran sungai menuju destinasi tujuan. Ada pula titik-titik paroki yang sudah bisa dicapai hanya dengan moda transportasi darat dengan mobil atau motor.
Kalau tak salah ingat, Air Upas sempat disebut Mgr. Pius Riana Prapdi sebagai paroki terjauh dari Pusat Kota Ketapang. Letaknya berbatasan langsung dengan wilayah pastoral Keuskupan Palangka Raya di Provinsi Kalteng.
Barulah 1,5 tahun setelah informasi awal tentang Air Upas itu terdengar di telinga, kami berkesempatan mengunjungi paroki ini di akhir bulan Juni 2018. Tujuan kami ikut turne ke Air Upas adalah menghadiri Misa Penerimaan Sakramen Imamat untuk Diakon Bonefasius Mite Pr yang akan ditahbiskan imam oleh Mgr. Pius Riana Prapdi.
Informasi awal mengenai rencana tahbisan ini saya dengar dari Sekretaris Uskup Keuskupan Ketapang Romo Ir. Simon Yogatama Pr, putera daerah asal Yogyakarta yang seorang insinyur beneran. Keuskupan akhirnya mendesain perjalanan kami berdua (saya dan Pipit Prahoro) ikutan ke Air Upas bersama Romo Bangun Nugroho Pr, Ketua Komisi PSE Keuskupan Ketapang.
Augustinian Spirituality Center (ASC)
Matahari sudah bersinar amat garang di Ketapang, ketika hari menjelang makan siang Romo Bangun datang menjemput kami di ASC, rumah retret dan pusat studi spiritualitas St. Agustinus milik Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Ilahi (OSA). Awalnya, saya pikir perjalanan kami hanya berkisar 2-3 jam saja. Itulah sebabnya, saya sempat menawar waktu dengan Romo Bangun agar kita bertolak menuju Air Upas dari Ketapang tidak di pagi hari melainkan tengah hari selepas makan siang di ASC.
Ternyata, perkiraan saya sangat jauh dari kenyataan dan meleset 100 persen.
Perjalanan kami dengan Mitsubishi Pajero 4×4 WD bersama Romo Bangun ke Air Upas justru berlangsung lebih dari enam jam.
Itu pun masih harus sedikit ‘tersesat’ di areal perkebunan sawit karena hari hujan deras dan salah satu ruas jalan telah ‘hilang’ longsor tertelan arus banjir dadakan.
Romo Bangun yang sudah malang melintang menyusuri jalanan berbatu, berlumpur pekat kategori off-road rute Ketapang-Air Upas dan sungguh-sungguh hafal dengan jalur ini saja bisa tersesat. Nah, apalagi orang-orang baru yang harus menjadi sopir untuk melibas kawasan ini.
Jadi, selain memberi aroma asyik karena avonturir, perjalanan ini juga menyuguhkan gejolak emosi tegang dan penasaran: dari tadi sudah beberapa jam lewat, tapi perjalanan menuju Air Upas kok tidak sampai-sampai?
Diguyur hujan deras
Hujan deras mengiringi perjalanan kami, selepas kami meninggalkan kawasan kota melewati jembatan Sungai Pawan, batas teritorial sebelum meninggalkan Pusat Kota Ketapang. Hujan baru berhenti beberapa kilometer sebelum sampai Kendawangan.
Namun, perjalanan kami menuju Kendawangan terpaksa berhenti di tepi jalan, ketika sebuah truk bermuatan penuh mengalami kerusakan persis di sebuah ruas badan jalan di sebuah jembatan. Butuh waktu setidaknya 30 menit menanti jalur ini ‘bebas’ dari truk yang macet di jembatan tersebut.
Sesudah melewati kompleks industri penambangan bauksit PT WHW (Well Harvest Winning Alumina) yang membelah kota Kendawangan, maka pupus sudah jalur darat beraspal dan kini memulai turne sesungguhnya yakni jalanan penuh kobangan lumpur pekat, air keruh, dan berbatu-batu.
Untunglah mobil yang kami kendarai itu tipe 4×4 WD (four wheel drive) dengan kekuatan penggerak roda ada di ke-4 rodanya. Selama dalam perjalanan dari Kendawangan menuju sebuah titik persimpangan sebelum memasuki areal perkebunan sawit PT Cargill, sejumlah mobil travel umum ikut melintasi jalur ‘campur-aduk’ ini.
Nekat juga, demikian pikiran kami, karena mobil-mobil trayek umum ini memakai kendaraan jenis minivan non 4×4 WD.
Sejumput kopi dan makanan ringan mengisi perut kami yang mulai lapar di sebuah kedai kecil, sebelum memasuki areal perkebunan sawit. Lalu beberapa waktu selanjutnya, hujan deras kembali mengguyur kawasan ini, ketika kami mobil memasuki kawasan areal perkebunan sawit.
Inti ceritanya di sini adalah kami seperti berada in the middle of nowhere. Tidak tahu di mana posisi geografis kami, karena yang ada hanyalah pepohonan sawit, jalanan lurus membelah areal perkebunan, tidak ada orang di jalanan selain beberapa pos penjagaan di ujung jalan, dan tentu saja gelap gulita.
“Waah…kita bisa terjebak di sini,” dengus Romo Bangun sedikit berteriak, ketika sebuah ruas jalanan di areal perkebunan sawit itu telah ‘putus’ karena longsor dihantam arus banjir.
Tidak ada jalan lain, kecuali putar balik dan mencari akses lain agar bisa sampai ke Jalan Bauksit. (Berlanjut)