Home BERITA Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Uskup: Beda Citarasa di Pedalaman dan di...

Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Uskup: Beda Citarasa di Pedalaman dan di Kota (1)

1
Naik sampan motor bernama speed berkekuatan 15 PK menyusuri aliran Sungai Laur dari Bengaras menuju Sepotong, Tanjung Beringin, Randau Limat, Merabu, dan Selangkut Raya. (Meiva Lomboan)

GENAP sudah hampir sebulan yang lalu, saya telah menikmati gaya  liburan ‘istimewa’ di Pulau Borneo; tepatnya di permukiman pedalaman dan kawasan hulu Sungai Laur, Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat. Kini, saya bukan lagi pelancong, melainkan telah menekuni kembali rutinitas sehari-hari di Manado, Sulawesi Utara: sebagai pelajar SMA Negeri 1 Manado,  anak kembar di keluarga pasutri Lomboan-Mangente, dan penggiat OMK Paroki St. Joseph Rayon Sario 2.

Sangat berbeda rasanya,  ketika saya tengah berada di pedalaman dan kawasan hulu sungai yang sangat  terpencil dan kini sudah kembali  lagi hidup di Manado.

Di pedalaman  kawasan hulu Sungai Laur  –yang letaknya sekitar 350 km dari ‘pusat kota’ Ketapang dengan perjalanan darat selama tiga jam plus tiga jam lagi lewat Sungai Laur— saya menjalani kehidupan yang serba indah dan ‘istimewa’. Itu karena di sana saya boleh menikmati indahnya suasana kehidupan sosial yang tidak mungkin  terjadi di kota Manado.

Selagi masih melancong,  saya bisa dikatakan bebas;  tidak terikat  tanggungjawab yang harus saya emban di Manado: sebagai anak di keluarga, murid, plus pengurus OSIS. Ketika menatap kembali pengalaman melancong di pedalaman Ketapang itu, maka saya mantap mengatakan bahwa  semua itu saya telah alami dengan perasaan sukacita.

Banyak sekali pengalaman serta  pembelajaran hidup  yang telah saya dapatkan selama menjadi pelancong masuk pedalaman Ketapang, Kalbar. Awalnya susah dicerna bahwa  akhirnya saya mampu  tinggal hampir sepekan lamanya di kawasan permukiman terpencil di tepi hutan atau hulu sungai –jauh dari  kota,  tidak ada listrik PLN, tidak ada sinyal HP, terbatasnya MCK, dan miskin air bersih.

Namun, toh semua itu telah terjadi dan saya bisa menikmati hari-hari itu dengan  sangat menyenangkan.  Lalu, gejolak hati macam apa yang terjadi di dalam diri saya? Tiada lain adalah  rasa bersyukur atas kebaikan Tuhan yang telah Dia berikan kepada saya melalui banyak tangan.

Bersama OMK Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka di Paroki Keluarga Kudus Sepotong, kami melibatkan diri dengan kegiatan menghias pohon Natal. (Ist)

Menjelang Natal di pedalaman

Sudah menjadi semacam ‘tradisi’ di Paroki Keluarga Kudus Sepotong, khususnya di Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka, hari-hari menjelang Natal selalu diisi dengan berbagai kegiatan untuk ‘mempercantik’ diri menyambut  Hari Kelahiran Yesus. Bersama Kak Rosa –tokoh OMK lokal yang saya kenal saat berlangsung Indonesian Youth Day ke-2 di Manado bulan Oktober 2016 lalu—saya ikut berpartisipasi mendekor Gereja Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka.

Selama tiga hari,  saya melibatkan diri  dalam kegiatan ‘mempercantik’ Gereja Stasi Sungai Daka ini. Awalnya saya dihantui rasa canggung saat harus  bergaul dengan kawan-kawan asing yang baru saya kenal di kawasan pedalaman ini:  OMK Dayak dari Sungai Daka. Rasa malu dan canggung itu seketika lenyap berkat keramahtamahan mereka.

Meski saya ‘orang asing’  dari Manado  dan ini merupakan kunjungan pertama kali ke Kalimantan dan Ketapang, namun OMK Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka sungguh menerima saya dengan sangat hangat. Ketua umat menyambut  saya dengan hati gembira dan tangan terbuka. Semua kebaikan itu menjadikan  kecanggungan saya hilang.

Bersama OMK Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka, sekitar enam perjalanan via jalan Trans Kalimantan dari Pontianak.

Berkat kekompakan antar OMK setempat, juga semua pihak –mulai dari anak, remaja, sampai orang dewasa pun juga ikut melibatkan diri–  akhirnya kegiatan mendekor untuk mempercantik ‘wajah’ gereja stasi pun rampung tepat pada waktunya. Saya bereaksi gembira hati dan sedikit haru melihat semua proses kerjasama ini. Di kawasan pedalaman Ketapang ini,  citarasa gotong royong dan kebersamaan masih terasa sangat kental.

Di kota –utamanya di Manado— semangat kebersamaan dan gotong royong di antara masyarakat sudah semakin menipis; untuk tidak mau mengatakannya: malah sudah tidak ada sama sekali.

Masuk pedalaman bersama Bapak Uskup

Mungkin saja ada yang sudah membaca kisah tulisan saya sebelumnya tentang pengalaman mengikuti turne masuk pedalaman Ketapang bersama Bapak Uskup Keuskupan Ketapang: Mgr. Pius Riana Prapdi. Kisah pertama itu kini ingin saya lanjutkan lagi di sini.

Mengapa saya berminat melanjutkan kisah mengikuti turne masuk pedalaman Ketapang?

Jujur saja, pengalaman turne usai Natal 2016 dengan mendatangi beberapa wilayah pedalaman atau kawasan hulu Sungai Laur itu hingga kini masih saja  terngiang-ngiang atau masih terbayang-bayang di benak saya. Tidak tahu. Entah kenapa, sampai sekarang ini pun, rasanya saya masih sulit move on dari pengalaman luar biasa tersebut.

Bisa mengikuti turne masuk pedalaman Ketapang dan bersama Bapak Uskup itu sungguh merupakan pengalaman sangat menyenangkan dan signifikan bagi  saya. Karenanya, saya merasa sangat susah mengungkapkannya secara lengkap ‘isi hati’ saya dengan rumusan kata-kata.

Penulis bersama rombongan turne di atas sampan motor bernama speed dalam perjalanan dari Bengaras menuju Sepotong. Di dalam ‘kabin’ super sempit di speed ini ada Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi (memakai kopiah khas Dayak), Bu Royani Ping (Yayasan Bhumiksara Jakarta), Pak Mathias (Sesawi.Net/AsiaNews), dan penulis (memegang tongsis) (Meiva Lomboan)

Naik speed dari Sepotong ke Tanjung Beringin

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Stasi Tanjung Beringin, setelah sebelumnya sempat mampir sebentar di Desa Sepotong. Tepatnya mampir di Pastoran Gereja Keluarga Kudus Sepotong, setelah sebelumnya saya dan Kak Rosa ‘mencegat’  di Bengaras  rombongan turne Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prabdi bersama Fr. Benedictus Pr,Pak Harun (semua dari Kota Ketapang), Bu Ping Royani, dan Pak Mathias Hariyadi (dari Jakarta).

Perasaan takut langsung menghantui seluruh kedirian saya. Inilah pertama kalinya dalam hidup saya naik moda transportasi sungai untuk mencapai kawasan hulu sungai. Dari Sepotong, rombongan naik sampan motor yang biasa disebut speed menuju Tanjung Beringin. Jumlah speed-nya sebanyak lima, karena anggota rombongan turne bertambah: Pastor Silvanus Ilwan CP, empat misdinar, Kak Bobby, dan beberapa peralatan misa.

Rasa takut itu semakin menguasai diri, ketika lima speed berkuatan 15 PK itu meninggalkan Sepotong menuju Tanjung Beringin, ketika hari  mulai sedikit gelap. Rasa suka hati menikmati perjalanan speed dari dermaga Bengaras menuju Sepotong sungguh bisa saya nikmati. Sepanjang perjalanan menyusuri aliran Sungai Laur dari Bengaras menuju Sepotong, saya bisa menikmati indahnya pemandangan alam di tepi sungai: hutan lebat, tidak ada manusia di sana-sini karena yang ada hanyalah pepohonan dan sesekali perkampungan permukiman.

Bersama Kak Rosa dari Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka dan Pastor Silvanus Ilwan CP dari Paroki Keluarga Kudus Sepotong (hanya tampak topinya saja) dan motoris di latar belakang dengan pemandangan alam aliran Sungai Laur menuju Tanjung Beringin. (Maria Rosa)

Ketakutan sangat beralasan

Hari sudah mulai gelap, ketika kami memulai  perjalanan naik speed  dari Sepotong menuju Tanjung Beringi. Rasa suka hati itu langsung hilang,  berganti dengan rasa takut sungguhan. Perjalanan menyusuri Sungai Laur ini berlangsung selama 1,5 jam tanpa penerangan memadai: hanya sebuah senter saja di tangan motoris. Selebihnya gelap gulita.

Tuhan berpihak pada rombongan: memberi kami keselamatan. Rombongan lima speed akhirnya berhasil sampai di Tanjung Beringin ketika hari sudah sangat gelap. Hari-hari berikutnya kami melakukan perjalanan lanjutan menuju Stasi Randau Limat, Stasi Merabu, Stasi Selangkut Raya.

Sukacita mewarnai perjalanan mengarungi alliran Sungai Laur di pedalaman Ketapang bersama rombongan turne masuk pedalaman bersama Mgr. Pius Riana Prapdi. Ini terjadi di siang hari. Ketika perjalanan melalui sungai terjadi malam hari hanya dengan satu senter saja, maka ketakutan melanda seluruh penumpangnya. (Meiva Lomboan)

Meski dibebat rasa capai, mengantuk dan juga lapar, kehangatan masyarakat Dayak di Stasi Tanjung Beringin telah ‘membangunkan’ saya dari keletihan fisik ini. Tarian adat berikut upacara Pancung Buluh Muda membuat mata hati saya kembali bersinar terang. Belum lagi, ketika kepada setiap tamu disuguhkan secangkir minum khas tradisional yakni tuak yang berbahan baku air hasil fermentasi beras ketan.

Tidak pernah saya lihat sebelumnya indahnya acara adat penerimaan tamu oleh masyarakat Dayak di Stasi Tanjung Beringin ini. Kalau di Manado, acara sambut tamu paling-paling hanya dengan potong pita. Namun di Tanjung Beringin, sang tamu agung  ‘dipersenjatai’ parang mandau untuk kemudian menebas potong habis sebuah buluh (bambu) muda.

Penulis bersama Pastor Kepala Paroki Keluarga Kudus Sepotong RP Silvanus Ilwan CP, putra Dayak yang menjadi pastor Ordo Passionis (CP). (Meiva Lomboan)

Ketika buluh muda itu terpotong dengan sekali tebas, maka sah sudah sang tamu agung itu boleh melangkah masuk ke permukiman yang baru pertama kali dia datangi. Yang menarik, acara Pancung Buluh Muda ini disertai dengan tarian khas Dayak untuk menyambut tamu.

Berikutnya adalah acara minum tuak.

Awalnya, saya dilanda perasaan ragu ketika di depan mulut saya disodori cangkir kecil berisi tuak. Seumur-umur, saya belum pernah minum tuak. Aroma baunya saja telah membuat perut saya neg bukan main. Lalu, bayang-bayang bahwa saya akan  mabuk oleh minuman tradisional ini membuat saya makin keki dengan hal ini.

Padahal, minum tuak seperti acara adat seperti ini bukan untuk mabuk, melainkan bentuk penghormatan warga setempat kepada para tamu yang telah sudi datang mengunjungi kampung permukiman mereka. Maka, rasa takut dan gelisah saya kalahkan demi satu hal ini: menjaga kehormatan dan menerima uluran kehangatan masyarakat Dayak.

Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prabdi menerima sambutan hangat masyarakat katolik di Stasi Randau Limat di kawasan hulu Sungai Laur. Sebelum boleh masuk kampung, Bapak Uskup harus melakukan upacara adat bernama Pancung Buluh Muda dengan memotong bilah bambu muda dengan sekali tebas dengan parang khas Dayak yakni mandau. (Meiva Lomboan)

Saya dibisiki:  tuak tidak perlu diminum.  Cukup bibir kita ditempelkan di cangkir berisi tuak, maka sudah sah pula kita merespon kehormatan dan kehangatan mereka.

Tuak sudah menyatu padu dengan hidup masyarakat Dayak. Minuman adat untuk kepentingan upacara ini dibuat dengan bahan baku beras ketan. Cara pengolahannya sebagai berikut:  beras ketan  itu dimasak dan kemudian ditaburi ragi. Proses fermentasi terjadi di tempayan berukuran besar.

Ada dua cara meminumnya: boleh langsung dengan minum dari tempayan  atau meminumnya dari beras ketan hasil fermentasi yang telah diperas hingga menghasilkan rampang. Jika diminum langsung dari tempayan, maka harus diberi air dan  baru kemudian bisa dihisap dengan menggunakan bambu yang sudah dipasang saringan agar ampas atau rampang tidak terhisap pula.

Tarian khas Dayak untuk menyambut para tamu yang masuk permukiman kampung mereka di Stasi Randau Limat, Paroki Sepotong. (Meiva Lomboan)

Malam penyambutan yang sangat meriah di Tanjung Beringin itu diwarnai hujan sangat deras yang datang tiba-tiba. Lampu-lampu  sejak lama menyala di beranda rumah, ketika generator dipasang. Namun, gelap gulita mewarnai jalan,  ketika rombongan meninggalkan kawasan dekat dermaga menuju rumah penginapan.

Baju dan tas kami telah basah kuyup. Dingin dan basah menempel di kulit berkat hujan deras yang tiba-tiba menerpa kami. Kehangatan datang menyapa tubuh kami, ketika kami bisa minum teh hangat atau kopi dan kemudian makan malam ketika hari itu sudah berjalan sangat larut.

Pada malam hari ketika waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, acara sambutan masyarakat dimulai di aula desa. Ngantuk menguasai kami, namun kami dibuat semangat oleh acara bagamal  yakni musik pengiring tarian tradisional Dayak.

Acara berlanjut dengan menari-nari dan lagi-lagi harus kembali minum tuak. (Bersambung)

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version