Sabtu, 06 November 2021
Rm. 16:3-9.16.22-27.
Mzm. 145:2-5.10-11.
Luk. 16:9-15
MANUSIA pada umumnya sangat mencintai harta, tidak merasa puas dengan harta yang sedikit maupun yang banyak, terus mencari harta mengejar ambisi dan angan-angan.
Harta kekayaan adalah mamon yang tidak jujur, ia terus menggoda manusia untuk mengejar dan mendapatkannya.
Tapi setelah dimiliki manusia, ia akan berubah menjadi dewa dan menguasai manusia.
“Bukan tidak mau jadi kaya, namun punya hati yang bisa bersyukur atas berkat setiap hari, itu lebih cukup daripada melimpahnya harta benda,” kata seorang bapak.
“Untuk apa punya segalanya, jika hati tidak tenang,” lanjutnya
“Saya pernah hidup sangat miskin, dan juga pernah hidup berlimpah harta benda,” ujarnya.
“Yang membuat bahagia itu bukan ada atau tiadanya harta namun sejauh mana hati bisa bersyukur atas segalanya,” katanya
“Saya pernah punya guru, meski dia punya segalanya, karena selain guru juga punya usaha konveksi yang sangat maju dan laris, hidupnya sangat sukses secara ekonomi, namun beliau ke sekolah selalu naik sepeda,” ujarnya.
“Beliau bagiku menjadi contoh bagaimana hidup tanpa dikendalikan harta benda dan kekayaan. Hidup bahagia dengan cara yang sederhana,” lanjutnya.
“Kekayaan tidak membuat dia sombong, angkuh dan lupa diri,” katanya.
“Dia memberi teladan kepada kami, hidup jujur, bertanggung jawab, sederhana, tulus melayani, serta ugahari,” ujarnya.
“Teladan yang kecil, namun karena terus dibiasakan dan selalu kami lihat telah menjadi habitus dan menjadi bagian tingkah laku kami,” ujarnya lagi.
“Kebiasaan yang baik akan membentuk habitus yang baik,” katanya.
“Orang-orang yang melakukan korupsi dan sejumlah tindakan lainnya, barangkali karena mereka tidak dilatih dalam hal-hal sederhana itu seperti kejujuran, bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan,” lanjutnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian.
“Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.
Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.
Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Orang bijak berkata, “Pecunia non olet”, uang itu tidak berbau.
Karena tidak berbau, maka pengaruh uang dalam hati kita biasanya dalam senyap dan tak terlihat serta tidak tercium.
Kesadaran kadang terlambat pada saat hidup tergoncang karena permasalahan yang ditimbulkan karena uang.
Pada saat itulah, mamon menampilkan wajah aslinya, dia tampil menjadi penguasa baru, menjadi dewa setingkat dengan Allah dan menawarkan begitu banyak kemudahan hidup, kenikmatan serta kepuasan yang sering membuat manusia terbuai dan terlena keenakan.
Mamon tetaplah harang yang tidak bisa berperan apa-apa ketika saat ajal tiba.
Mamon itu tidak bernilai sama sekali, tak bisa membantu manusia saat mengahadap Sang Pencipta.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku bisa menggunakan harta kekayaan demi kebaiakan bersama?