Senin, 9 September 2024
1Kor 5:1-8;
Mzm 5:5-6.7.12;
Luk 6:6-11.
KETIKA kita telah mempersembahkan segala yang berharga dari hidup ini, yakni waktu, tenaga, harta dan emosi dalam suatu hal, seperti pekerjaan atau hubungan, harapan untuk dihargai adalah hal yang wajar.
Namun, sering kali kita mendapati diri merasa kecewa, karena usaha dan kontribusi kita tidak diakui dengan sepenuhnya. Perasaan kecewa ini dapat muncul dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan hingga hubungan pribadi.
Kita mungkin bisa juga merasa kecewa setelah berkorban dan berbuat baik pada seseorang, tapi tak dihargai.
Seorang teman pernah bercerita betapa ia kecewa berat karena orang-orang yang pernah dibantunya tidak peduli dengannya saat ia membutuhkan pertolongan.
Ia pun kemudian memutuskan untuk tidak banyak membantu orang lagi. Dia merasa tidak ada gunanya berbuat baik.
Dia pernah juga mengeluh bahwa ada orang yang tidak menghargai orang lain yang telah berbuat baik kepadanya. Dia tidak menuntut penghargaan yang berlebihan namun diperlakukan dengan wajar saja sudah cukup.
Namun demikian teman saya tetap menjaga api semangat berbagi dan belajar dari Tuhan Yesus. Tuhan Yesus juga mengalami perlakuan yang sama yakni ditolak dan dibenci kendati telah melakukan kebaikan.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: Ulurkanlah tanganmu.”
Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya. Maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus.”
Tindakan Yesus penuh belas kasih. Ketika Dia melihat seseorang yang membutuhkan pertolongan, Dia tidak hanya melihat kesakitan atau keterbatasan fisik, tetapi Dia melihat kesempatan untuk menunjukkan kasih dan kuasa Tuhan. Dia mengulurkan tangan-Nya untuk menyembuhkan tangan yang sakit, sebuah tindakan yang sederhana namun penuh makna.
Hal ini mengajarkan kita untuk selalu siap menolong dan memberdayakan mereka yang membutuhkan, tidak peduli betapa kecil atau besarnya kebutuhan mereka.
Namun teaksi orang-orang di sekitar-Nya. Alih-alih bersyukur atas mujizat dan pemulihan, mereka merasa marah dan mulai merencanakan bagaimana mereka bisa menghentikan Yesus.
Sikap ini mengungkapkan sesuatu tentang hati manusia, sering kali, kemarahan dan ketidakpuasan menghalangi kita untuk melihat dan merayakan kebaikan yang sedang terjadi di sekitar kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku melihat kebaikan Allah dalam hidupku?