Home BERITA “Umat Katolik Membangun NKRI”, Ajakan Kardinal Merawat Cinta Tanahair

“Umat Katolik Membangun NKRI”, Ajakan Kardinal Merawat Cinta Tanahair

0
Buku Kardinal berisi ajakan bagi umat Katolik membangun negeri dan merawat NKRI by Mathias Hariyadi

KURANG apa lagi bagi Julius Kardinal Darmaatmadja SJ mengisi perjalanan hidupnya, selain menyuarakan pentingnya bagi segenap anak negeri untuk merawat rasa cintanya kepada Tanahair kita bersama: Indonesia.

Di tengah masa panjang menjalani hari-hari purnakaryanya di Wisma Emmaus di Girisonta, Ungaran, Jateng, mantan Uskup Agung KAS dan KAJ ini masih memberi porsi perhatiannya tentang pentingnya segenap elemen bangsa Indonesia merawat cinta Tanahair.

Rasa cinta Tanahair itu perlu senantiasa dirawat dan dilestarikan, karena pengalamannya sebagai pemimpin Gereja dalam pergaulannya dengan banyak kalangan membuktikan, NKRI ini memang perlu dirawat dan senantiasa diperjuangkan. Umat Katolik sebagai elemen anak bangsa juga dipanggil untuk mewujudkan semangat tersebut.

Buah-buah pikiran Kardinal tentang perlunya merawat NKRI inilah yang muncul dalam buku baru berjudul Umat Katolik Diajak Membangun NKRI ini. Kardinal menyoroti tema besar ini dari perspektif biblis, teologi pastoral, dan bingkai besar bernama nasionalisme.

Tentang perspektif nasionalisme, Kardinal bicara tentang Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Kita sebagai umat Katolik harus merasa ikut bertanggungjawab merawat Pancasila karena di situlah nilai-nilai kebangsaan seperti pluralisme dan rasa saling hormat dalam semangat toleransi itu telah “dimeteraikan”.

Buku kecil ini dirasa berguna sebagai tuntunan dalam bersikap sebagai warga negara yang “kebetulan” mengimani Yesus Kristus sebagai orang Kristiani. Bahwa tuntutan moral-sosial ini datang dari buah pikiran seorang Kardinal dan mantan Uskup Agung, maka sudah pastilah buku ini bermutu dari segi kontennya.

Editing

Kalau pun ada kekurangan yang terjadi pada buku ini, maka hal itu terjadi pada sisi teknis semata. Yaitu, fungsi penyuntingan yang seharusnya dilakukan seorang editor tidak dilakukan dengan optimal. Banyak alinea ditulis panjang-panjang sehingga terkesan tidak ada “pembagian” gagasan.

Tata letak seperti itu mengganggu proses penyerapan yang mestinya bisa terjadi dengan lebih mudah, ketika aline-alinea panjang itu “dibagi” dan “dipecah” menjadi alinea-alinea kecil agar secara visual teks ini lebih enak dibaca.

Seorang editor harus berani “merombak” teks dengan tidak meniadakan ide besar yang terkandung dalam teks-teks panjang tersebut. Dan peran penting ini yang menurut saya tidak dilakukan dengan baik oleh editor buku ini.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version