TOLONG baca dengan benar: opèn (Huruf ‘e’ dibaca seperti ketika kita menyebut tempat: Kopeng). Opèn bukan dalam arti: buka atau terbuka (bahasa Inggris), melainkan bahasa Jawa: seneng ngopèni!
Opèn adalah sifat positif dari seseorang. Opèn berkaitan dengan keutamaan luhur tradisi keutaman Jawa: gemi lan nastiti. Para orangtua bisanya mendidik anak-anaknya untuk ‘gemi’. Di antaranya dengan pembiasaan ‘nyelèngi’, menabung.
Baca juga:
- Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Itukah ‘Satria Piningit’ untuk KAS? (10)
- Rangkaian Acara Tahbisan Uskup Agung KAS Mgr. Robertus Rubiyatmoko: 18,19, 20 Mei 2017
Menabung bukanlah sekedar mengumpulkan uang untuk masa depan, tetapi sebuah olah spiritual supaya terbentuk pribadi yang gemi. Maka, gemi berarti pandai menyimpan sesuatu dengan menghindari penggunaan yang tidak perlu/ berlebihan, sehingga tetap tampil prasaja (bersahaja).
Gaya berpakaian
Monsinyur Robertus adalah seorang yang opèn, suka ngopèni barang yang memang dibutuhkan, memeliharanya supaya tetap berfungsi optimal dan awet. Kami teman-teman seangkatan di Seminari Mertoyudan dan di Seminari Tinggi Kentungan sangat ingat bagaimana beliau berpakaian.
Yang dipakai hanyalah baju yang itu-itu saja. Warna sekitar broken white, atau abu-abu (ben yen reget ra katon/biar kalau kotor tak kentara). Motif pun hampir selalu lorek-lorek (motif garis lembut). Kadang-kadang saja memakai batik pemberian.
Saya mengamatinya sampai hari-hari menjelang tahbisan uskup (hari-hari ini), baju beliau pun masih tetap sama (warna dan motifnya) sejak puluhan (30 tahun) lalu. So simple, begitu sederhana. Kalau baju robek, atau lepas kancing, beliau sigap dengan benang dan jarum untuk ‘dondom’/ sulam kembali. Ini mengingatkan saya pada alm. Monsinyur Johanes Pudjasumarta waktu menjadi pamong di Mertoyudan tahun 1982, dengan baju yang ‘keblendokan’ (tercurah) mangsi/tinta pen, namun tetap dipakainya terus menerus.
Ketika para frater yang lain telah mempunyai radio baru (setelah Tahun Orientasi Pastoral) yang kinclong, dulu Frater Rubiyatmoko tetap ngopeni radio yang tak berbentuk samasekali. Sebab radionya adalah rangkaian ‘handmade’ (circuit block) yang telanjang tanpa casing. Entah beliau peroleh dari bak sampah di mana. Speaker-nya ditempatkan di kura-kura plastik, bekas mainan anak-anak. Sehingga kami sering mengolok-olok: Radio Bulus.
Frater Rubiyatmoko sungguh opèn. Sepeda onthel inventaris, selalu diisak-isik, dilap, supaya tetap bersih. Sepeda pinjaman tersebut selalu ‘diuthak-uthik’, disetel supaya tetap nyaman dikendarai ketika hampir setiap hari harus ‘nglajo’ dari Kentungan ke IKIP Sanata Dharma Mrican.
Ngopèni sangat erat dengan keutamaan lain yang menyertai: nastiti dan ngati-ati.
Nastiti berarti piawai dan teliti dalam mengelola sesuatu. Biasanya berkaitan dengan uang dan anggaran. Artinya cukup berhati-hati dalam memperhitungkan pemasukan dan pengeluaran supaya berimbang (Ingat: gemi). Namun sesungguhnya, ngopèni itu tidak hanya sekedar bagaimana memperlakukan barang. Melainkan juga berkaitan dengan penggembalaan.
Tepatlah motto: Quaerere et salvum facere (mencari dan menyelamatkan).
Persis itulah yang disebut: opèn. Selalu mengarahkan diri dalam aksi/ tindakan dan passion untuk menemukan yang hilang, supaya mengalami keselamatan. Membayangkan bahwa setiap imam dan umat menghidupi semangat Bapak Uskup, betapa Gereja KAS akan semarak dan menjadi berkat.
Gereja akan signifikan secara internal, dan relevan di tengah masyarakat.