KABAR apik kini berhembus dari Vatikan. Khususnya dari Kongregasi Ajaran Iman Tahta Suci.
Pada tanggal 16 Juli 2020 kemarin, “Kementerian” Vatikan ini resmi merilis sebuah dokumen yang disebut Vademecum.
Istilah bahasa Latin ini kurang lebih berarti pedoman protokoler untuk menangani sesuatu. Katakanlah semacam Stardard Operating Procedure (SOP).
Arti harafiah vademecum adalah “ayo pergi jalan bersamaku”.
- Kata kerja bahasa latin vadere-vado-vasi artinya berjalan, pergi cepat-cepat.
- Kata depan cum artinya dengan, bersama.
- Kata ganti me artinya saya, aku.
Manual book
Jadilah Vademecum ini semacam “manual book”. Utamanya bagi para uskup di seluruh dunia untuk menangani kasus-kasus perundungan seksual oleh pastor –pendek kata kaum berjubah– dengan korban anak-anak. Dan tentunya remaja juga termasuk di dalamnya.
Dengan terbitnya Vademecum ini, berbagai pihak menilai bahwa Vatikan sudah mulai berani “maju selangkah” ke depan.
Setidaknya untuk tidak lagi membiarkan kasus-kasus perundungan seksual oleh para pastor dan kaum berjubah lainnya dengan korban anak dan remaja boleh begitu saja didiamkan. Dan juga tidak lalgi dipetieskan seperti yang terjadi selama ini dan bahkan masih sampai sekarang pun.
Ulasan media
Laporan berbagai media Katolik di Italia maupun media Katolik internasional seperti AsiaNews, Vatican News dan bahkan Al Jazeera pun menulis ulasannya sebagai berikut.
Vademecum pada dasarnya ingin menjawab berbagai tudingan dan pertanyaan soal kompetensi dan kemauan baik Gereja untuk bisa bertindak cepat dan proporsional. Untuk merespon kasus-kasus perundungan seksual dengan korban anak-anak dan remaja. Pendek kata, kasus-kasus pedofilia yang melibatkan kaum berjubah.
Dalam hal ini tentu saja termasuk para pastor pada umumnya. Bisa juga para uskup, dan bahkan para kardinal.
Dokumen Vademecum ini terdiri dari 30 halaman dan memuat sembilan bab. Fokusnya adalah menjawab langkah-langkah yang akan dilakukan oleh Gereja (baca: Hirarki), ketika mendapati kasus-kasus pedofilia telah terjadi dan itu dilakukan oleh anggota hirarki (uskup, imam, diakon).
Dokumen ini secara mendasar tidak bersifat normatif. Juga tidak merupakan teks aturan hukum (Gereja) yang baru untuk merespon kasus-kasus terkait.
Vademecum lebih merupakan semacam pedoman protokoler yang akan menjadi acuan Hirarki untuk memproses kasus pedofilia agar bisa diselesaikan secara baik, proporsional, dan tentunya juga profesional secara hukum.
Vademecum diharapkan membantu para uskup dan kaum profesional di bidang hukum untuk memproses kasus-kasus perundungan seksual ini menurut kaidah Hukum Kanonik (Hukum Gereja). Terutama atas kasus-kasus kategori berat (delicta graviora).
Kilas sejarah
Vatikan memandang perlu segera menerbitkan dokumen Vademecum ini, setelah terjadi pertemuan Sinode Para Uskup dengan bahasan tema melindungi anak-anak (dari ancaman perundungan seksual oleh kaum berjubah). Pertemuan ini terjadi di bulan Februari 2019 lalu.
Salah satu teks dalam dokumen Vademecum ini mengatakan sebagai berikut.
“Only a profound knowledge of the law and its aims can render due service to truth and justice, which are especially to be sought in matters of graviora delicta by reason of the deep wounds they inflict upon ecclesial communion.”
Acuan hukum
Vademecum pertama-tama ingin menjawab tindakan macam apa yang layak disebut sebagai kasus hukum dan perbuatan kriminal? Lalu bagaimana mestinya kasus itu mestinya diselidiki dan kemudian juga lalu diproses secara hukum.
Acuan hukumnya antara lain:
- Kitab Hukum Kanonik atau Hukum Gereja.
- Motu proprio Sacramentorum Sanctitatis Tutela yang dirilis Paus Johannes Paulus II tahun 2001.
- Naskah sama kemudian diedit dan direvisi oleh Paus Benedictux XVI tahun 2010.
- Motu proprio Vos estis lux mundi yang dirilis oleh Paus Fransiskus tahun 2019.
Sekedar catatan tambahan. Dalam dokumen Vademecum ini dibahas sedikit kasus-kasus yang butuh pemahaman tersendiri, karena terjadi perbedaan Hukum Gereja antara Gereja Ritus Timur (Ortodoks) dan Gereja Ritus Barat (Vatikan).
Fokus perhatian
Ada empat hal yang menjadi perhatian dalam dokumen Vademecum ini.
- Melindungi korban sebagai prioritas utama. Gereja harus memastikan terjadinya perlindungan dan perlakuan hormat terhadap korban dan keluarganya.
- Pendampingan yang profesional baik itu secara spiritual dan keilmuan.
- Hal sama juga dilakukan kepada sang terdakwa dengan tetap memberi ruang privasi dan hormat kepadanya.
- Melaporkan sebuah kasus perundungan sama sekali tidak berarti mendiskreditnya nama baik pelaku.
Hak-hak sang terdakwa
Meski –katakanlah—kasus itu sudah sangat “terang benderang” bagi semua pihak –baik yang menyelidiki, saksi, dan pelaku— namun Vademecum tetap memberi ruang bagi sang terdakwa untuk mempertahankan diri. Atas dasar asas praduga tak bersalah.
Ia tetap boleh dan malah harus “membela diri”. Harus disertai bukti-bukti bahwa yang dituduhkan itu sungguh tidak benar.
Artikel nomor 9 memberi ketegasan bahwa selama kasus ini diproses, maka sang terdakwa boleh mengajukan permohonan untuk segera dibebastugaskan dari jabatan dan tugas-tugasnya sebagai imam dan pelayanannya.
Termasuk di sini juga dibebaskan dari kaul-kaulnya. Termasuk bebas dari kewajiban (mempertahankan) hidup selibatnya.
Permohonan untuk dibebaskan itu harus diajukan secara tertulis kepada Kongregasi Ajaran Iman dengan subjek penerima adalah Paus. Keputusan Paus atas hal ini sifatnya final.
Menyaring informasi
Semua informasi mengenai kasus ini harus diperiksa secara teliti dan akurat.
- Bahkan misalnya kalau pun tidak ada komplen resmi dari korban dan keluarga, maka prosedur baku –pemeriksaan secara teliti dan akurat—juga harus tetap dilakukan.
- Termasuk, misalnya, kasus perundungan ini mencuat hanya karena muncul sebagai berita di media massa. Termasuk di sini adalah panggung komunikasi nirkabel via medsos.
- Bahkan juga kalau sumber informasi ini tidak diketahui atau sumbernya anonim.
- Bahkan kalau pun informasi ini datang di Kamar Pengakuan. Maka, Bapa Pengakuan harus mendesak peniten untuk dengan sukarela melaporkan kasus itu kepada “pihak lain”.
Rahasia dan notifikasi publik
Ini menyangkut soal tata kelola komunikasi. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, baik tersangka pelaku dan korbannya memang tidak ada kewajiban untuk “tutup mulut”.
Vademecum hanya minta hal ini. Sebaiknya, kedua belah pihak hati-hati bicara atau mengeluarkan pernyataan-pernyataan supaya tidak menimbulkan kehebohan karena pelintiran informasi yang tidak akurat.
Termasuk di sini menjaga agar semua dokumen peristiwa ini diperlakukan secara tertib dan cermat agar jangan sampai jatuh ke tangan yang tidak berkepentingan.
Kerjasama antara Gereja dan Negara
Dokumen Vademecum memberi ruang bagi kerjasama profesional antara Gereja dan aparatur Negara dalamhal ini adalah polisi.
Meski kasusnya tidak mewajibkan hal ini, namun Gereja sebaiknya membuat laporan kepada pihak berwajib –dalam hal ini polisi atau aparat yang berwenang menindak perkara hukum.
Terutama kalau langkah ini dianggap memang sangat perlu untuk melindungi korban dan keluarganya. Tentu saja dari kemungkinan munculnya bahaya dan ancaman berikutnya.
Langkah tegas
Vademecum sangat tidak merekomendasi Gereja (baca: Hirarki) lalu bertindak seperti ini. Yakni segera memindahkan tersangka pelaku pada tugas pelayanan lain di tempat berbeda dari TKP. Melainkan yang segera perlu dilakukan adalah menonaktifkan tersangka pelaku dari jabatan imamatnya. Istilahnya adalah suspensio a divinis.
Jadi, karena kasus macam ini, Gereja (Hirarki) jangan lagi kemudian hanya bertindak memindahkan tersangka pelaku ke karya lain di tempat berbeda. Melainkan harus segera mencopotnya dari tugas dan fungsi imamatnya sembari menunggu proses penyelidikan selesai dan diketahui hasil “benar-tidaknya”.
Berikut ini naskah lengkap dokumen Vademecum:
PS: AsiaNews, Vatican News, Al Jazeera.