UNGARAN (Jumat, 25/3/2016). Sejak pukul enam pagi, halaman Gereja Kristus Raja Ungaran sudah dipadati oleh umat yang hadir untuk mengikuti visualisasi Penyaliban Yesus. Dari anak-anak hingga kakek-nenek, mereka sudah hadir, meski rencana visualisasi baru akan dilaksanakan pada pukul 08.00 WIB. Itulah semarak dan semangat umat menyambut hari kenangan Yesus wafat.
Naskah Visualisasi berjudul “Kisah Kasih dalam Sengsara”, dipersiapkan oleh Romo Aloys Budi Purnomo Pr yang sekaligus menyutradarai visualisasi ini bekerjasama dengan Gusur, Aang, Rizal dan Ucup serta rekan-rekan Orang Muda Katolik Paroki Ungaran dalam hal pelatihan dan properti visualisasi.
Para pemain adalah Orang Muda Katolik Paroki Ungaran, kecuali yang berperan sebagai Yesus dari Gereja Kristen, Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Terjadi kolaborasi sinergis antara OMK pemain visualisasi dengan OMK paduan suara dan anggota Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) yang turut menyemarakkan suasana visualisasi dengan peran mereka masing-masing dalam akting dan bernyanyi.
Keunikan dari visualisasi ini adalah dimunculkannya adegan-adegan yang tidak biasa, misalnya, penyesalan Yudas karena telah menyerahkan Yesus kepada para imam kepala dan orang Farisi di Getsemani, namun penyesalan itu tidak disertai dengan pertobatan dan perubahan hidup.
Di hadapan Imam Agung, ditampilkan tuduhan bahwa Yesus menggunakan ilmu sihir dan saat dihadirkan saksi yang mestina diharapkan memberatkan tuduhan itu, ternyata saksi dengan gagah berani justru membela Yesus di hadapan Imam Agung dan mengatakan bahwa Yesus tidak menggunakan ilmu sihir melainkan justru kuasa Allah yang hebat, sebab saksi itu ternyata adalah seorang yang buta sejak lahir dan disembuhkan oleh Yesus hingga bisa melihat. Maka, baginya, itu bukan ilmu sihir, melainkan kuasa Allah yang hebat. Saksi justru membela Yesus dan melawan Imam Agung sehingga harus diseret keluar.
Ditampilkan dalam visualisasi ini sejumlah orang – bersama orang buta sejak lahir yang disembuhkan Yesus itu – yang membela Yesus juga di hadapan Pilatus. Mereka menjadi tokoh-tokoh protagonis yang membeba Yesus berhadapan dengan tokoh-tokoh antagonis yang menghasut Pilatus agar menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus; meski toh pada akhirnya, Yesus tetap dijatuhi hukuman mati oleh Pilatus.
Hal lain yang unik dari visualisasi ini adalah, sesaat setelah Yesus menyapa Maria ibu-Nya yang bersama Yohanes – murid terkasih – yang mengikuti Yesus hingga Golgota, dan Yesus menyerahkan Maria kepada Yohanes seabagi ibundanya dan menyerahkan Yohanes kepada Maria sebagai anaknya pula, para wanita yang membela dan menangisi Yesus bersama umat menyanyikan lagu Ndherek Dewi Maria dengan iringan saksofon yang dilantunkan Romo Budi.
Ini merupakan sebentuk kontekstualisasi visualisasi dalam merespon sabda wasiat Yesus sebelum wafat bahwa Maria adalah Bunda Gereja, Bunda umat beriman, dan setiap orang yang mengimani Yesus pun diserahkan sebagai putri-putra Maria dengan tekad mengikuti Maria yang setia dalam suka maupun duka mengimani Yesus.
Sesudah Yesus yang wafat di kayu salib diturunkan dari salib, Yesus diserahkan kepada Maria dan dalam keheningan menyertai penurunan Yesus dari salib itu, sejumlah wanita mendaraskan puisi-puisi doa penuh cinta kepada Yesus yang wafat. Inilah bait-bait kalimat puisi doa itu.
“Yesus berilah aku diamMu yang suci. Anugerahkanlah padaku diamMu yang emas bersinarkan kasih yang lembut dan mesra. Rahmatilah aku dengan diamMu yang agung dan penuh wibawa! Curahilah aku dengan diamMu yang mendengarkan, merindu, menanti dalam penderitaan dan kesengsaraan. Siramilah aku dengan diamMu yang penuh cinta. DiamMu yang sabar. DiamMu yang memesona. DiamMu yang menyembuhkan. Jauhkanlah daripadaku diam yang menantang. Singkirkanlah dari padaku diam yang menggugat. Buanglah daripadaku diam yang menghakimi. Hancurkanlah daripadaku, diam yang menyembelih. Bersihkanlah daripadaku diam yang mencurigai. Janganlah aku terjebak dalam diam yang merencanakan kejahatan. Janganlah aku terjerat oleh diam yang menghina. Janganlah aku tercekik oleh diam yang marah. Janganlah aku terikat oleh diam yang angkuh. Janganlah aku terperosok ke dalam diam yang mendengki, membenci, dan mengiri! Yesus, berilah aku diamMu yang pasrah kepada Allah. Sebab ternyata diam yang pasrah itu melembutkan derita. Diam yang pasrah, melenturkan ketegangan jiwa. Diam yang pasrah menenangkan suksma. Diam yang pasrah meredakan badai hati. Diam yang pasrah mencerna segala amarah, pamrih, cemas, nafsu, sehingga melembut, dan mengendap jernih di dasar lubuk hati. Yesus, berilah aku diamMu yang pasrah kepada Allah, sehingga akupun rela kalah dan meng-Allah! Dalam diam yang meng-Allah, kasihMu tercurah dalam kehidupan yang lemah! Terpujilah Engkau kini dan sepanjang masa. Amin!”
Di penghujung visualisasi itu terdapat adegang tabur bunga yang dilakukan oleh seluruh hadirin pada tubuh Yesus yang dibaringkan di gua pemakaman di dalam Gereja dengan masih sekali lagi diiringi puisi doa oleh para wanita pembela Yesus. Dan tubuh pemeran Yesus pun terkubur bunga tabur yang ditaburkan sejumlah umat, suster, romo dan para pemain sendiri.
Satu hal yang tidak biasa dalam visualisasi kali ini adalah, salib yang dipanggul Yesus dari rumah Pilatus menuju Golgota terbuat dari bambu. Ini dimaksudkan untuk melanjutkan spirit kirab salib Asian Youth Day (AYD) yang sedang dilakukan di paroki-paroki se-Keuskupan Agung Semarang. Salib AYB itu juga dibuat dari bambu. Itulah sebabnya, prosesi salib dari rumah Pilatus menuju Golgota menggunakan salib dari bambu, meski salib yang digunakan untuk menyalib Yesus di Golgota tetap menggunakan yang terbuat dari kayu.
Mengapa salib dari bambu? Bambu merupakan sejenis tanaman yang berumpun, dengan segala aneka keunikan namun tetap hidup dalam rumpun bambu yang rukun bersatu. Ini melambangkan semangat kerukunan dan kekeluargaan yang sejati. Juga melambangkan semangat keberagaman yang saling menopang dan memberi ruang. Bambu bengkok, bambu lurus, bambu pendek, bambu panjang, semua mendapat fungsi dan arti tanpa diskriminasi. Begitulah hidup multikultural itu merupakan anugerah dan penebusan Kristus pun berlaku untuk semua orang dan siapa saja tanpa diskriminasi. Dialah Sang Juruselamat dan Penebus Dunia dan seiinya tanpa pandang suku, agama, kelompok bahasa dan bangsa.
Selama visualisasi berlangsung, umat yang memenuhi gereja turut berarak dalam prosesi menuju Golgota yang dipersiapkan di halaman parkir gereja. Mereka menangis menyaksikan wajah Yesus yang tersalib untuk menebus dosa-dosa dunia.
Ungaran, 25 Maret 2016
atas nama Orang Muda Katolik Paroki Kristus Raja Ungaran
Salut dengan puisinya.