Senin, 10 Januari 2022
- 1Sam. 1:1-8.
- Mzm: 116:12-13.14,17.18-19;
- Mrk. 1:14-20
KITA harus tepat menyikapi semua bentuk perubahan.
Tidak mungkin menunggu dan diam menanti hingga perubahan itu mengubah diri kita.
Sangat menyakitkan, manakala kita dipaksa untuk berubah oleh keadaan.
Perlu sebuah kesadaran bahwa perubahan adalah satu-satunya jalan untuk bisa survive dan memberi kemampuan kita untuk labih tangguh dalam kehidupan ini.
“Kalau saja saya tidak berubah, anak-anakku akan sangat tergantung denganku dan apatis terhadap kepeningan bersama serta belum tentu cepat mandiri,” kata seorang bapak.
“Sejak menikah saya terbiasa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Isteri dan anak-anak hanya tahu beres,” lanjutnya.
“Hingga pada suatu hari, ketika saya dan isteriku pergi untuk beberapa waktu. Mata hatiku terbuka bahwa karena saya mengurusi semuanya hingga anak-anak tidak tahu apa-apa bahkan hak sepele dalam rumah tangga. Saat itulah muncul kesadaranku bahwa kami sekeluarga harus berubah,” ujarnya.
“Saya dan isteri saya yang harus mulai perubahan itu,” katanya.
“Kami mulai membagi pekerjaan rumah, dan memberi kepercayaan kepada anak-anak untuk ambil bagian mengurus rumah tangga. Mulai hal-hal praktis seperti membayar air pam, membayar listrik, membayar iuran warga, membeli air minum, memisahkan sampah organik dan yang non organik, dan pekerjaan praktis lainnya di rumah,” lanjutnya.
“Setelah tiga bulan berlalu anak-anak bukan saja sudah lancar mengerjakan pekerjaan rumah namun yang kami rasakan suasana rumah lebih baik dan lebih akrab. Terlihat muncul rasa memiliki yang tinggi, dan kepedulian dengan situasi rumah. Anak-anak bukan lagi sekadar penonton atau seakan anak kos di rumah sendiri, namun mereka menjadi pemilik rumah,” ujarnya lagi.
“Mengubah mentalitas dan kebiasaan itu kadang tidak mudah namun jika ada niat kuat dan komitmen jelas, semuanya bisa dilakukan dengan baik,” lanjutnya.
“Dengan melakukan semua pekerjaan sendiri mungkin saya bisa menjadi ayah yang hebat tetapi menjadi tidak ada manfaat dan gunanya jika anak-anakku tidak pernah bisa bertanggung jawab atas hidupnya sendiri,” katanya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian.
“Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!
Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”
Waktunya berubah untuk para murid dan kita.
Menjadi sehati seperasaan dengan Tuhan dalam menbangun tata hidup baru yang diwarnai sikap saling menghargai, membahagiakan, mendewasakan, dan tidak sekadar mencari kepentingan sendiri.
Saatnya mengenakan pertobatan di dalam hati.
Dan berusaha mengubah pikiran, berbalik dari kesalahan dan dosa serta menujukkan pikiran hanya kepada Allah semata.
Karena memang tidak ada manusia sempurna. Semuanya perlu diperbarui.
Semua orang perlu bertobat! Bertobat bukan hanya karena telah melakukan kejahatan saja. Namun, bertobat karena sering kali kita tidak mau melakukan kebaikan.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku berani meralat hidupku jika terjadi salah arah?