ChatGPT bikin heboh.
Peranti Internet yang satu ini hanya membutuhkan waktu lima hari untuk menyedot satu juta pengguna. Bandingkan dengan Spotify yang perlu waktu 150 hari dan Instagram 75 hari untuk mendapat jumlah pengguna yang sama. Dan pada bulan pertama peluncurannya yaitu pada bulan November 2022, ChatGPT diklaim telah menarik 57 juta pengguna aktif. Lalu pada Januari 2023, pengguna aktifnya telah mencapai lebih dari 100 juta basis pengguna.
Figur berpengaruh di dunia teknologi informasi dan pendiri Microsoft, Bill Gates, menganggap ChatGPT dapat menimbulkan dampak yang serupa dengan PC dan Internet. Gates adalah salah satu tokoh yang berperan atas popularitas komputer pribadi (PC) di era 80an. Walaupun Gates masih menyimpan keraguan terhadap kemampuan OpenAI, perusahaan yang membidani ChatGPT, tetapi–sebagaimana dilaporkan Bloomberg–Microsoft telah membenamkan modal sebesar 10 milyar dolar atau sekitar 150 triliun rupiah pada OpenAI.
Apakah ChatGPT?
Ya, apakah sebenarnya perangkat yang mampu membuat Google panas-dingin ini? ChatGPT (Generative Pre-Training Transformer) sebenarnya sebuah chatbot–robot yang bisa diajak bincang-bincang.
Bot ini dapat dikatakan merupakan perantara antara pengguna dengan kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence) untuk berkomunikasi. Lewat ChatGPT, pengguna awam sekalipun dapat “bercakap-cakap” dengan AI untuk menggali informasi apa pun yang terkandung di dalamnya. Pengguna cukup mengetikkan prompt yang akan direspons oleh ChatGPT. Sebagai bot, ChatGPT dapat memahami natural language yang di-input oleh pengguna.
Dengan dukungan data raksasa, ChatGPT dapat merespons pertanyaan dan permintaan pengguna mulai dari membuat esai untuk tugas sekolah sampai membuat kode pemrograman komputer. Makeuseof memberi contoh 11 hal yang dapat kita lakukan dengan bantuan bot ini.. Di YouTube, seorang tutor mengajarkan cara memanfaatkan ChatGPT untuk latihan berbahasa Inggris, mulai dari grammar, pronunciation, sampai writing. Seorang profesor di Wharton School, Universitas Pennsylvania bahkan mencoba mengujikan soal ujian akhir MBA pada ChatGPT dan … sang robot pun lulus! Barangkali kemampuan teknologi AI yang amat luas inilah yang membuat banyak orang terkesima dan berbondong-bondong mencobanya.
Pro dan Kontra di Dunia Pendidikan
Melihat “kepakaran” ChatGPT dalam berbagai bidang agaknya mampu membuat gamang berbagai pihak di berbagai lini industri, tidak ketinggalan dunia pendidikan. Para pendidik mulai sibuk membicarakan dampak buruk barang baru ini.
Beberapa sekolah telah mengeluarkan larangan penggunaan ChatGPT di lingkungan pendidikannya. Untuk menghindari siswa mencontek dengan memanfaatkan sang robot, ada sekolah atau universitas yang mengharuskan peserta didik mengerjakan ujian tulis dengan tulisan tangan atau ujian langsung secara lisan.
Noam Chomsky, seorang linguis dan ahli filsafat terkemuka, mengatakan bahwa ChatGPT tidak ada kaitannya dengan pendidikan, perangkat itu tidak lain tidak bukan hanyalah plagiarisme teknologi tinggi dan merusak pendidikan.
ChatGPT bukan hanya membuat orang mudah mencontek, tetapi juga menyebkan plagiarisme sulit dideteksi. Sistem ini tidak mengandung nilai dalam kaitannya dengan pemahaman tentang bahasa dan kognisi.
Namun Chomsky sendiri tidak khawatir bahwa mahasiswanya akan memanfaatkan ChatPGT untuk mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Menurut sang linguis, mahasiswa MIT, tempatnya mengajar, tidak akan melakukan hal itu karena mereka menyukai apa yang mereka pelajari. Dengan demikian, tantangannya bagi para pendidik adalah menciptakan program yang menarik minat sehingga mahasiswa tidak ogah-ogahan mengikutinya.
Plesetan cheatgpt
Barangkali kegalauan Chomsky cukup beralasan bila melihat perkembangan penggunaan ChatGPT oleh siswa, bahkan ada sebagian orang yang memelesetkan ChatGPT menjadi “cheatgpt”.
Gizmodo memberi dua contoh di mana ChatGPT digunakan siswa untuk lulus tes esai bahasa Inggris dan ilmu komputer. Namun, rupanya lain Chomsky, lain pula Sam Altman.
Analogi kalkulator
Genius pendiri OpenAI ini berargumen bahwa ketika kalkulator muncul kita pun heboh tentang bagaimana mencegahnya merusak para siswa. Ternyata dunia pendidikan berhasil beradaptasi dan mengatasi kekhawatiran tersebut. AI mungkin versi yang jauh lebih ekstrem dari kalkulator, tetapi manfaatnya pun akan jauh berlipat-lipat. Untuk meredam kegelisahan para pendidik, Altman berjanji untuk membuat alat pendeteksi respons GPT, tetapi menurutnya orang akan selalu mencari cara untuk juga mengecoh alat semacam itu.
Agaknya Altman tidak sendirian dalam upayanya mempertahankan ChatGPT dalam pendidikan. Tidak sedikit guru atau dosen yang mencoba mengintegrasikan perangkat AI ini dalam pengajaran. Cherie Shields, misalnya, berpendapat bahwa ketimbang menangkal ChatGPT di sekolah, lebih baik menggunakannya sebagai alat-bantu ajar. Shields adalah seorang guru bahasa Inggris di sebuah SMA di Sandy, Oregon yang sudah mengajar selama 25 tahun dan biasa menugaskan penulisan esai kepada para siswanya.
Manfaatkan sebagai alat-bantu ajar
Bagi Shields, menutup diri dari teknologi bukanlah jalan keluar yang tepat. Teknologi justru harus dimanfaatkan sebagai alat-bantu ajar.
Seperti halnya ketika para pendidik membantu siswa belajar cara mencari informasi lewat Google, maka kini para pendidik harus mulai merancang cara ajar yang mengintegrasikan teknologi AI untuk membantu peserta didik dalam proses belajarnya.
Pengakuan akan keberadaan AI akan merombak cara pendidik dalam mengajar.