CHRISTMAS Season di sepanjang Cheonggyecheon Stream di jantung Seoul rasanya seperti menyelusuri lorong kehidupan masa silam Ibukota Korea Selatan ini dengan perspektif pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan. Dua pekan menjelang Natal 2015 tiba, kawasan di sepanjang bantaran sungai cilik di kawasan bisnis Seoul ini menjadi semarak oleh hiasan lampu Natal berbagai versi.
Kilauan cahaya lampu berbagi jenis telah menjadikan kawasan bantaran Kali Cheonggyecheon ini ibarat kunang-kunang di tengah gelapnya malam. Serba indah dan sangat semarak. Nyaris tak ada pejalan kaki yang tidak dibuat hepi dengan pemandangan super eksotik di tengah hembusan angin super dingin yang membelenggu Seoul di waktu winter. (Baca juga: Wisata Korea: Samgyetang, Sup Sehat ala Korea (7)
Padahal, sebelum tahun 2005 silam, kawasan di sepanjang bantaran Kali Cheonggyecheon ini adalah permukiman super padat dan juga kumuh. Jauh sebelum tahun 2005 itu, Cheonggyecheon tidak hanya kehabisan ‘nafas’ karena telah disesaki oleh perumahan penduduk yang padat. Namun juga, karena permukiman padat kumuh itu telah ikut menenggelamkan tekstur sungai yang berlokasi di bawah permukaan jalan.
Cheonggyecheon sebelum tahun 2005 adalah kawasan bisnis paling heboh di Seoul, karena di sepanjang jalan ini berdiri ribuan ruko atau rukan tempat para pedagang berjualan.
Bersolek berkat komitmen
Namun, pada tahun 2003 Walikota Seoul saat itu, Lee Myung-bak, merombak sejarah negeri ini dengan keputusannya yang berani. Jalan layang yang membentang melewati jaringan bantaran Kali Cheonggyecheon ini diputuskan dibongkar total. Selain alasan keamanan karena umurnya sudah melebihi angka 40 tahun, jalan layang itu juga dianggap menganggu keindahan kota.
Seoul menjadi semrawut oleh hiruk-pikuk pedagang di sepanjang bantaran kali kecil ini. Karena itu, Walikota Seoul Lee Myung-bak ambil kemudi dengan keputusannya yang berani: membongkar jalan layang sepanjang 5,8 km dan mengubahnya menjadi kawasan konservasi alam yakni dengan membiarkan sungai kecil ini eksis kembali. Dalam perspektif rehabilitasi kota modern ini, langkah berani Walikota Seoul Lee Myung-bak itu sama dengan projek penataan perkotaan berwawasan lingkungan.
Revolusi 5.8 km
Walikota Seoul saat itu, Lee Myung-bak, ingin merombak total bangunan jalan layang menjadi kawasan terbuka hijau agar ‘paru-paru’ keindahan Seoul yang menawarkan eksotisme pemandangan alam secara natural bisa kembali hadir di Cheonggyecheon. Langkah besar itu kemudian populer dengan sebutan “Revolusi 5,8 Km”, mengikuti rentang panjang jalan layang sepanjang 5,8 km yang diputuskan harus dibongkar habis.
Jalan layang ini merupakan yang pertama kali eksis di Korea Selatan. Jalan ini dibangun pada tahun 1968-an, ketika Korea Selatan di bawah kendali kekuasaan Presiden Park Chung-hee. Sejak munculnya jalan layang sepanjang 5,8 km itu, praktis permukaan kali Sungai Cheonggyecheon lalu tertutup habis oleh keangkuhan jalan layang.
Wali Kota Seoul saat itu, Lee Myung-bak, adalah sosok pemberani yang akhirnya memelopori projek raksasa merestorasi kawasan CheonggyeCheon. Proyek itu dinamai ‘Revolusi 5,8 km’, sesuai panjang aliran CheonggyeCheon. Pada tahun 2003, Lee memutuskan menjadikan CheonggyeCheon sebagai kawasan hijau yang terbuka dan berhasil menyelesaikan projek raksasa ini dua tahun kemudian: jalan layang dia bongkar total dan fungsi aliran sungai di sepanjang Cheonggyecheon dipulihkan kembali.
4.000-an perudingan alot
Keputusan Walikota Seoul Lee Myung-bak menggelontorkan Revolusi 5.8 km tidak serta merta mulus. Tak kurang tercatat ada sedikitnya 4.000-an kali pertemuan digelar antara Pemkot Seoul dengan para pemrotes projek besar ini.
Mereka yang protes tidak hanya para pedagang harian yang menyesaki kawasan bantaran Sungai Cheonggyecheon, melainkan juga para pemerhati lingkungan dan banyak kelompok lainnya. Umumnya mereka bekeberatan atas beberapa pokok hal ini: ribuan orang akan kehilangan pekerjaan, polusi udara, kebisingan, dan anarki sosial.
Namun, Walikota Seoul Lee Myung-bak bergeming sedikit pun. Ia tetap nekad menjalankan program ini dan akhirnya dalam kurun waktu 2 tahun saja projek besar menata kota Seoul di bantaran Sungai Cheonggyecheon berhasil diselesaikan pada bulan September 2005. Hasilnya terlihat sangat eksotik seperti tahun-tahun terakhir ini. Tercatat juga dalam sejarah politik Korea Selatan, mantan Walikota Seoul Lee Myung-bak ini kemudian tampil sebagai pemimpin nasional Korea sebagai Presiden.
Sejak Cheonggyecheon bersolek kembali, Seoul berhasil mencatat rekor turis yang berkunjung ke kawasan ini setidaknya 10 juta setiap tahunnya. Yang tersaji di Cheonggyecheon ini sebenarnya biasa-biasa saja: sebuah kali kecil dengan airnya yang bening mengalir indah di tengah kota yang padat. Keindahan kali ini semakin lengkap dengan hadirnya aneka burung, ikan, kupu-kupu dan aneka serangga lain –semua penghuni dan penggemar aliran sungai.
Beningnya air sungai ini menjadi suguhan mengasyikkan bagi warga Seoul. Setiap malam, nyaris ribuan orang suka menyesaki kawasan ini untuk foto-foto, bercengkerama, atau sekadar menghangatkan relasi antarpribadi dengan ngobrol santai ngalor ngidul sembari menikmati aliran sungai dan mendengarkan gemericiknya air sungai yang terantuk pada bebatuan.
Sejarah masa silam
Kawasan elit di jantung Seoul ini menjadi magnit memabukkan bagi siapa saja yang berkunjung ke Ibukota Korea Selatan. Rasanya belum lengkap ke Seoul, bila tidak menyempatkan diri mengunjungi kawasan wisata alam natural paling top di Ibukota Negeri Ginseng ini.
Kalau melihat sejarah masa silam, kawasan Cheonggyecheon ini sejatinya menyimpan sejarah peradaban Korea sejak lama. Konon, menurut cerita orang setempat, jejak peradaban manusia Korea zaman dulu sudah terjadi di sepanjang bantaran Sungai Cheongggyecheon ini, kira-kira 600 tahun silam. Malah disebutkan pula, ketika transportasi air menjadi andalan utama yang menghubungkan kota-kota di sekitaran Seoul, maka Kali Cheonggyecheon inilah primadona ‘jalan panjang’ untuk keperluan transportasi berbasis air ini.
Sejatinya, Kali Cheonggyecheon ini hanyalah sungai kecil yang mengalir dari arah Barat menuju Timur dan kemudian aliran airnya masuk ke perairan yang lebih besar lagi: Sungai Junangcheon. Dari Sungai Junangcheon ini, aliran sungai masuk ke perairan sungai yang lebih lebar lagi yakni Sungai Hanggang atau populer disebut Sungai Han –kali paling besar yang membelah Seoul menjadi dua kawasan.
Ada 22 jembatan penyeberangan yang membentang di sepanjang Kali Cheonggyecheon ini. Bilamana berjalan kaki menyusuri kali ini, rasa-rasanya seperti menyusuri lorong sangat panjang sejarah masa silam Seoul dengan koleksi peradaban Cheonggyecheon-nya yang menawan.