Renungan Harian
Jum’at, 27 Agustus 2021
PW. St. Monica
Bacaan I: 1Tes. 4: 1-8
Injil: Mat. 25: 1-13
HARI itu, saya bersama orangtua dan adik perempuan, menginap di rumah simbah di desa. Mbah Puteri ini tinggal bersama dengan keluarga adik bapak.
Memang di rumah yang besar itu, Mbah Puteri awalnya tinggal sendirian. Karena Mbah Kakung sudah mendahului.
Bagaimana ceritanya saya tidak tahu. Tetapi bu’lik, adik bapak, yang juga sudah janda memilih menemani Mbah Puteri.
Udara segar di desa, membuatku tidur terlelap. Sehingga aku bangun agak kesiangan. Aku agak sedikit malu, karena saat aku bangun semua orang di rumah itu sudah sibuk di dapur, sambil menikmati teh dan gorengan yang disiapkan Mbah Puteri.
Kami sekeluarga sengaja mengunjungi Mbah Puteri untuk syukuran atas kelulusanku menyelesaikan S-2 saya di sebuah perguruan tinggi di negeri orang.
Saat melihat aku menuju dapur untuk bergabung dengan bapak dan adikku, tiba-tiba Mbah Puteri meminta saya untuk mengasah pisaunya.
“Le, cah bagus, kae lading-lading karo arite simbah mbok disahke, wong neng kene orang ana wong lanang dadi kabeh kethul,” kata simbah.
(Nak, tolong pisau-pisau dan sabit itu diasah biar tajam, karena disini tidak ada laki-laki jadi semua tumpul).
Saya terkejut mendapatkan permintaan Mbah Puteri, karena seumur-umur belum pernah mengasah pisau. Sehingga tidak tahu caranya.
Maka spontan saya bertanya kepada simbah:
“Mbah di mana ada orang ngasah pisau? Atau nunggu yang lewat?”
Sekarang giliran Mbah Puteri yang terkejut mendengar pertanyaan saya.
“Lho ya kowe sing ngasah kok malah golek uwong. Yen mung golek uwong, aku ya isa,” kata simbah.
(Kamu yang harus mengasah pisau, bukan mencari orang lain. Kalau mencari tukang ngasah pisau, saya juga bisa.)
“Mbah saya tidak bisa mengasah pisau, dan belum pernah mengasah pisau?” jawabku.
“Jare, kowe ki lulusan luar negeri, sekolah dhuwur banget meh sundhul langit, kok ngasah lading wae ora isa,” kata simbah. (katanya kamu itu lulusan luar negeri, sekolah tinggi sekali kenapa mengasah pisau saja tidak bisa.)
“Mbah, saya itu di luar negri tidak belajar mengasah pisau,” jawabku sekenanya sambil tertawa dan diikuti orangtua dan adikku.
“Wah tiwas aku ki pamer-pamer karo tangga teparo yen putuku wis lulus le sekolah dhuwur tekan luar negri, mbake bodho,” kata simbah.
(Waduh, saya terlanjur cerita-cerita ke tetangga kalau cucuku saya sudah selesai sekolah tinggi di luar negeri, ternyata bodoh.)
Saat malam hari, ketika saya tiduran di bale-bale simbah duduk di sebelahku sambil memijit-mijit kakiku.
“Nak, menurut mbahmu yang bodoh dan buta huruf ini, orang sekolah itu untuk mencari “gaman lan srono” (senjata dan sarana) untuk hidup.
Hidup itu seperti perang, maka butuh gaman.
Perang melawan diri sendiri, perang melawan hawa nafsu agar hidup itu lurus “ngener marang sangkan paraning dumadi, mligi kanggo sing nggawe urip”. (menuju ke asal usul hidup, fokus hanya bagi yang berkuasa atas hidup).
Jalan hidupmu “ora nolah-noleh gampang kesengsem”. (tidak mudah tergoda dengan hal-hal menarik perhatian).
Hidup juga butuh sarana, agar hidupmu sejahtera, bahagia dan yang paling penting dengan sarana-sarana itu hidup menjadi berarti bagi orang lain.
Jadi kalau kamu sekolah hanya untuk dapat ijazah, bisa jadi orang kaya, hebat dan terkenal tetapi tidak membawamu pada tujuan hidupmu, dan juga tidak membuat hidupmu menjadi berarti bagi orang lain, tidak berguna.
Kamu kelihatan pinter lulusan luar negeri, tetapi sebenarnya kamu hanya mendapatkan kebodohan,” simbah memberi nasehat.
Saya tercekat mendengarkan nasehat yang luar biasa dari simbah. Aku disadarkan akan arti dan tujuan hidup yang sesungguhnya.
Aku sadar ternyata permintaan mengasah pisau tadi pagi adalah permintaan simbolis dengan arti yang amat dalam.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius mengingatkan pentingnya untuk mengolah hidup agar sampai pada keselamatan.
Orang bijaksana adalah orang yang mampu mengolah hidup sedemikian sehingga mempunyai perlengkapan yang cukup dan mampu menggunakannya untuk mencapai keselamatan.
“Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun saatnya.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku sudah termasuk orang bijaksana?