Ada banyak alasan mengapa umat katolik suka melakukan perjalanan panjang dan jauh untuk sebuah misi perjalanan rohani atau biasa kita sebut ziarah. Tentu, sebagai umat katolik di Indonesia, kita benar-benar menyadari bahwa devosi umat katolik terhadap santo-santa itu memang sedemikian besar. Belum lagi kalau harus melihat betapa besar antusiasme umat katolik di Indonesia akan Bunda Maria. Itu tak terbantahkan lagi, ketika dimana-mana berdiri pusat devosional kepada Bunda Maria dan banyak orang berbondong-bondong mengunjungi tempat-tempat ini, baik dengan rombongan atau perjalanan pribadi.
Pusat-pusat devosional kepada Bunda Maria baik di dalam maupun di luar negeri menjadi lokasi destinasi ziarah bagi banyak umat katolik di Indonesia. Tapi, mengapa ziarah ke Tanah Suci (baca: Israel) juga menjadi perhatian umat katolik di Indonesia?
Ketika pertanyaan penting ini mulai menghujami kedirian saya sejak tiga tahun lalu, rupanya saya harus mencari jawaban tepat mengapa keinginan menuju ‘ke sana’ itu tiba-tiba muncul. Tentu ada persoalan teknis-penting yang harus diselesaikan yakni menyiapkan dana untuk keperluan itu. Namun, sejatinya ada sesuatu hal yang lebih personal mengapa tiba-tiba “Tanah Suci” itu menarik perhatian bagi saya.
Sejarah keselamatan
Israel dan sejumlah negara di sekitarnya –utamanya Mesir dan Jordania—menjadi locus (tempat) bagaimana sejarah keselamatan itu terjadi. Kisah-kisah biblis dalam Perjanjian Lama ratusan kali menyebut kawasan itu. Taruhlah itu, misalnya, Kitab Keluaran dimana dikisahkan bangsa Israel mengalami perbudakan di Mesir dan kemudian Nabi Musa membawa mereka keluar menuju Tanah Terjanji (perjalanan exodus) dan di Gunung Sinai itulah Musa menerima hukum 10 Perintah Allah serta pengalaman Musa ‘membelah’ Laut Merah untuk kemudian Bangsa Israel menyeberang masuk ke Tanah Terjanji.
Kitab Perjanjian Baru juga menyebut Mesir, ketika Bunda Maria dan Yusuf bersama Kanak-kanak Yesus harus mengungsi ke Mesir untuk menghindari kejaran Raja Herodes yang menghendaki kematian Yesus. Dengan demikian, terjadi kaitan historis sangat erat antara kisah-kisah Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru ketika dua negeri bertetangga ini sering disebut-sebut.
Lalu, Yesus dibabtis di Sungai Yordan oleh Yohanes Pemandi. Dengan menyebut nama sungai ini, sudah pastilah aliran sungai ini berada di tapal batas kedua negara: Israel dan Jordania. Dengan demikian Jordania layak pula dilirik sebagai lokasi ziarah rohani ketika mengunjungi Tanah Terjanji alias Tanah Suci dimana Yesus dilahirkan, eksis masuk dalam sejarah hidup umat manusia (Misteri Inkarnasi), berkarya selama tiga tahun, dan akhirnya mati disalib namun pada hari ketiga mampu mengalahkan ‘maut’ (kematian) dan bangkit dari kematian (Misteri Paska).
Misteri Paska dasar fundamental iman kristiani
Kalau Yesus berkarya hebat dengan banyak melakukan mukjizat namun kemudian mati hina dengan disalib, lalu apa artinya mengimani (percaya) bahwa Dia adalah Anak Allah?Tidak ada legitimasinya. Namun, justru karena Ia mengalahkan maut, bangkit dari kematian dan tetap tinggal di antara kita dengan mengutus Roh Penghibur (Roh Kudus), iman akan Yesus sebagai Mesias memperoleh dasar legitimasinya.
Sejarah keselamatan ilahi yang masuk dalam alur sejarah umat manusia secara riil banyak muncul di Kitab Perjanjian Lama. Sejarah keselamatan ilahi dimana Allah ‘masuk meresap hadir dan ada’ dalam sejarah riil umat manusia terjadi di Israel dan itu banyak disebut-sebut dalam Injil. Dua negara di dekatnya yakni Mesir dan Jordania ikut masuk ‘disebut’ dalam konteks kisah-kisah tentang hidup Yesus, meskipun porsinya sedikit.
Saya tak mau masuk dalam diskusi panjang soal itu. Melainkan, saya ingin kembali pada pertanyaan awal yang sangat personal. Mengapa mau menyediakan uang cukup banyak untuk berziarah ke Israel –Tanah Suci—yang juga menyertakan program mengunjungi tempat-tempat penting berkaitan dengan ‘sejarah keselamatan’ di Mesir dan Jordania.
Ketika pertanyaan penting itu tiba-tiba menghujami saya sejak tiga tahun lalu, maka kisah sejarah keselamatan itulah yang akhirnya menarik saya pada sebuah minat: ziarah ke tiga negara yakni Israel, Mesir, dan Jordania. Teologi biblis tentang sejarah keselamatan yang pernah saya dengar di ruang kuliah bersama Mgr. Ignatius Suharyo –saat masih menjadi dosen Kitab Suci Perjanjian Baru di Kentungan tahun 1990-an– menjadi sangat riil di depan mata ketika badan wadhag saya ada di tiga negara itu.
Belum lagi, ketika almarhum Pastor Tom Jacobs SJ –dedengkot teolog di Yogyakarta saat itu—sering berapi-api bercerita tentang Paulus. Juga tahun-tahun sebelumnya di STF driyarkara Jakarta tahun 1984-an ketika Pastor BS Mardiaatmadja SJ dengan lugas menegaskan bahwa Gereja itu pertama-tama bukanlah soal gedung ibadah, melainkan PUBER. (Paguyuban Umat Beriman) yakni sekelompok umat Israel (para rasul dan lainnya) yang mengimani Yesus sebagai Anak Allah dan Mesias karena Misteri Inkarnasi dan Peristiwa Paska serta Kenaikan ke Surga.
Rentetan ‘pengetahuan’ dan fakta historis itulah yang akhirnya menciptakan sebuah ‘kebutuhan’ dari dalam mengapa ziarah ke tempat-tempat historis dalam Sejarah Keselamatan itu menjadi layak untuk ditanggapi. Dan rencana ini menjadi semakin menarik, ketika pembimbing rohaninya Pastor Danang Sigit Kuswara juga mengalami rentetan ‘keilmuan’ sama seperti yang pernah saya alami baik di STF Driyarkara maupun di Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada kurun waktu yang sama pula.
Kebutuhan itu menjadi semakin menarik lagi, ketika tour leader-nya Asmi Arijanto –mantan frater Jesuit dan yunior saya—dari Kelompok jasa tur Stella Kwarta juga sangat paham dengan sejarah keselamatan dalam konteks historis maupun konteks social masing-masing kota dimana akan kami kunjungi selama 13 hari ke depan ini.
Kalimat berbahasa Jawa ini barangkali cocok menggenapi artikel refleksi ini: tinuntun jumbuh. Tanpa terasa kita telah dituntun perlahan-lahan menggapai langkah agar tujuan itu tercapai.